filologi dikawasan asia khususnya india dan nusantara
A. Filologi di Kawasan Asia: India
Sejak beberapa
abad sebelum Masehi, Benua Asia merupakan kawasan yang memiliki peradaban yang maju, terbentang dari negara Tiongkok
(Cina) dan Jepang
yang ada di sebelah timur sampai ke
negara India yang ada di sebelah barat serta Nusantara (Indonesia sebelum
merdeka) yang ada di sebelah
selatan. Semenjak bangsa di kawasan tersebut
mengenal huruf, sebagian besar kebudayaan mereka ditulis dalam naskah. Studi
filologi terhadap naskah-naskah tersebut berhasil membuka khazanah sejarah
serta kebudayaan di wilayah Asia.
Diantara bangsa Asia
yang dipandang memiliki cukup dokumen peninggalan masa lampau dan telah dapat
membuka kebudayaannya adalah bangsa India. Keluhuran
bangsa India telah terungkap dengan berbagai penelitian, terutama terhadap
dokumen yang berupa tulisan seperti prasarti serta naskah-naskah kuno. Kontak
langsung dengan bangsa Yunani terjadi pada zaman Raja Iskandar Zulkarnain yang
mengadakan perjalanan sampai ke India pada abad ke-3 SM dibuktikan dengan
ditemukannya patung Budha yang ditemukan di daerah Gandhara yang dipahat
seperti patung Apollo memakai jubah tebal.
Sejak abad ke-1 terjadi
kontak langsung antara bangsa India dengan Tiongkok. Pada abad itu sekelompok
pendeta Buddha mengadakan perjalanan penyebaran agama ke Tiongkok, dan
sebaliknya sesudah itu beberapa pendeta dari Tiongkok mengadakan perjalanan
ziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India. Diantaranya yang tercatat dalam sejarah India yaitu Fa-Hian yang berkunjung ke India pada tahun 399
M, Hiuen-Tsing tahun 465-630
M dan I-Tsing pada tahun 671-695
M, bahkan I-Tsing juga pernah menulis ringkasan delapan bab ilmu kedokteran
india dalam bahasa Cina.
Kontak bangsa India dengan bangsa Persi bahkan terjadi pada
abad-abad lebih awal dari bangsa lain, karena letak peradaban mereka yang
berdekatan. Akan tetapi dokumen otentik tentang hubungan itu belum memberikan
informasi yang valid, berdasar telaah filologi bukti kontak langsung bangsa
India dengan bangsa Persi
terjadi awal abad ke-6 M karena pada abad itu disalinnya Pancatantra ke
dalam bahasa Persi.
1.
Naskah-naskah
India
Naskah-naskah
bangsa India yang
dipandang paling tua adalah kesastraan Weda, kitab suci agama Hindu yang
mengandung empat bagian yaitu Regweda,
Samaweda, Yajurweda, dan Atarwa-Weda yang
kemungkinan disusun pada abad ke-6 SM. Setelah periode Weda selesai disusunlah naskah-naskah lain yang berisi:
kitab suci Brahmana, kitab Aranyaka, dan kitab Upanisad.
Adapun kitab Weda berisi tentang kepercayaan kepada dewa, penyembahan terhadap
mereka secara ritual, mantra-mantra yang mengiringi upacara keagamaan Hindu,
dan ilmu sihir. Isi kitab Brahmana
adalah cerita mengenai penciptaan dunia dan isinya, cerita para dewa, serta
cerita mengenai persajian. Kitab Aranyaka berisi tentang petunjuk bagi
petapa yang menjalani kehidupan di dalam hutan, dan kitab Upansiad berisi tentang masalah filsafat
yang memikirkan rahasia dunia.
Selain naskah-naskah yang bertemakan
agama dan filsafat, naskah-naskah India juga ada yang berisi Wiracarita
(wira berarti pahlawan, carita berarti cerita/kisah) atau sejenis karya sastra tradisional yang menceritakan
kisah kepahlawanan, Seperti kisah Mahabharata dan Ramayana, karya tulis
karya penyair andalan, serta karya yang berisi ilmu pengetahuan seperti ilmu
kedokteran, ilmu tatabahasa, ilmu hukum, dan ilmu politik.
2.
Telaah
Filologi terhadap naskah-naskah di India
Naskah India mulai ditelaah
semenjak kedatangan bangsa barat di kawasan tersebut setelah ditemukannya jalan
laut ke India oleh Vasco da Gama
pada tahun 1498. Pada mulanya sebelum abad ke 19 yang di kenal oleh mereka
hanyalah bahasa daerah, namun setelah abad ke 19 mulai dikenal bahasa Sansekerta dan pada
akhir abad 19 Masehi dapat ditemukan kitab-kitab Weda. Hasil kajian filologi
terhadap naskah-naskah tersebut dipublikasikan pada tahun 1651 M oleh seorang dari
Belanda bernama Abraham Roger yang berjudul Open Door to Hidden Heathendom
yang isinya uraian mengenai ajaran kitab suci Brahmana dan sebuah
ikhtisar puisi penyair Bhratihari. Kemudian terbit karangan dua orang
Perancis bernama Bernier (1671) dan Tafernier (1677) mengenai geografi,
politik, adat istiadat, serta kepercayaan bangsa India. Setelah itu pada tahun
1790 sebuah karya diterbitkan oleh Fra Paolo Bartolomeo (seorang penginjil
berbangsa Austria) mengenai Tatabahasa Sansekerta karangan Hanxleden seorang
pendeta berkebangsaan Jerman.
Bangsa Inggris baru pada abad ke-18 memulai kegiatan filologi di
India yang
diawali dengan keinginan Gubernur Jendral Warren Hastings
untuk menyusun kitab hukum dari naskah-naskah lama bangsa India sendiri dan diterbitkan pada tahun 1776
M di London. Kemudian
pada 15 Januari 1784 didirikanlah sebuah wadah
kegiatan filologi bernama
The Asiatic Society di Bengal oleh William Jones seorang filolog dari Inggris yang saat itu sedang bekerja di India.
The Asiatic Society di Bengal oleh William Jones seorang filolog dari Inggris yang saat itu sedang bekerja di India.
Pada awal abad ke-19 M tokoh yang
terkenal adalah Alexander Hamilton (Inggris) dan Friedrich Schlegel (Jerman),
keduanya di pandang ahli yang memajukan studi naskah-naskah Sansekerta di
Eropa. Pada tahun 1808 Friedrich menulis buku yang berjudul On the Language
and Wisdom of the Indian dan mendirikan lembaga filologi di Jerman. Kakanya
August Wilhelm von Schlegel adalah orang pertama yang memberi kuliah Bahasa
sansekerta di Bonn, Jerman Barat. Sesudah itu telaah naskah sansekerta di Jerman
makin maju melebihi tempat lain di Eropa. Selain itu dikenal pula Frans Bopp
yang menemukan teori bahwa Bahasa Sansekerta memiliki sistem konjungsi seperti
Bahasa-bahasa Eropa yang Ia tulis dalam karangan berjudul On the
Conjugational System of the Sanskrit Language in Comparison with that of the
Greek, Latin, Persian, Germanic Languages, sehingga Frans Bopp dipandang
sebagai seorang yang meletakan dasar-dasar perbandingan Filologi.
Pada pertengahan abad ke-19 banyak
dilakukan telaah terhadap karya sastra klasik India, serta sastra epik. Namun
telaah terhadap kesastraan Budha dan Weda belum banyak dikerjakan. Telaah
terhadap sastra Weda baru di lakukan oleh F. Rosen pada tahun 1838 dan
diterbitkan berupa delapan bagian pertama dari kitab Ragweda. Rudolf Roth lah
yang meletakan dasar-dasar studi sastra weda di Eropa pada dasa warsa ke empat
abad ke-19. Dia menulis On the Literature and History of the Weda pada
tahun 1846. Selain Rudolf Roth, F. Maxmuller juga menulis buku mengenai Regweda
dalam delapan jilid dan di dalamnya disertakan tafsiran Regweda karya Sayana. Dengan
dilakukan studi terhadap Kitab Weda dan kitab agama Budha maka pada abad ke-19
dari segi materinya perkembangan filologi di India telah dipandang lengkap. Wilhelm
von Schlegel pada tahun 1819 menyusun daftar naskah sansekerta yang dikenal
baru sebanyak puluhan buah, Weber pada tahun 1852 menyusun daftar sudah memuat
sekitar 500 buah, dan pada awal abad ke-20 daftar tersebut sudah memuat beribu-ribu
naskah yang tersimpan di berbagai pusat studi kebudayaan dan kesastraan India
yang ada di India dan Eropa (Siti Baroroh,1994: 40-45).
B.
Sejarah
Perkembangan Filologi di Nusantara
Nusantara merupakan
kawasan Asia Tenggara yang di dalamnya termasuk kawasan Indonesia sebelum masa
kemerdekaan. Kawasan Nusantara ini sejak jaman dahulu memiliki peradaban yang maju
dan mewariskan secara turun-temurun kebudayaannya melalui berbagai media. Salah
satu medianya yaitu media tulisan berupa naskah-naskah, prasasti, dll. Kekayaan
nusantara akan naskah-naskah lama dibuktikan dengan jumlah koleksinya yang terdapat
di berbagai pusat studi kebudayaan timur pada umumnya. Kawasan Nusantara juga memiliki
berbagai kelompok etnis yang menjadikan kawasan ini memiliki banyak kebudayaan
dan masing-masing budaya memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Filologi Indonesia
tumbuh dan berkembang pada saat Pemerintah Kolonial Belanda mewacanakan ide beschaving
missie (misi pemberadaban). Dua institusi pilar yang digunakan untuk
mewujudkan gagasan itu adalah NBG (Nederlandsch Bijbelgenootschap) dan KITLV (Koninklijk
Instituut voor Taal Land-en Volkenkunde). NBG bergerak dalam syiar agama Kristen,
sedangkan KITLV sibuk dengan riset bahasa, geografi, dan antropologi (Sudibyo,
2007:111).
- Naskah Nusantara
dan Para Pedagang Barat
Sejak datangnya
bangsa barat
di kawasan Asia
pada abad ke-16 mulai timbul hasrat untuk mengkaji naskah-naskah Nusantara. Orang-orang yang pertama mengetahui adanya
naskah-naskah di Nusantara adalah para pedagang yang menjualbelikan naskah
tersebut karena menilai naskah itu sebagai dagangan yang mendatangkan untung
besar. Para pedagang tersebut kemudian mengumpulkan naskah-naskah lama dari perorangan atau dari tempat yang memiliki koleksi
seperti pesantren dan kuil-kuil. Kemudian dijual ke Eropa kepada perorangan
atau lembaga-lembaga tertentu sehingga selalu berpindah tangan.
Seseorang yang terkenal dalam
perdagangan naskah adalah Peter Floris atau Pieter Willemsz van Elbinck (1604
pernah tinggal di Aceh) yang menjual naskah kepada salah satunya Thomas
Erpenius. Karena Thomas tidak berminat mengkaji naskah Nusantara maka naskah
tersebut jatuh ke Perpustakaan Universitas Oxford tahun 1632. Nama lain yang
menerima naskah dari pedagang di Nusantara antara lain Edward Pococke (pemilik
naskah Hikayat Sri Rama tertua) dan William Laud (uskup besar dari Canterbury)
yang menghadiahkan naskah Nusantaranya kepada Perpustakaan Bodleian di Oxford.
Pada zaman VOC usaha mempelajari
bahasa hanya terbatas pada Bahasa Melayu karena dengan Bahasa Melayu mereka
bisa berkomunikasi dengan bangsa pribumi dan bangsa pendatang yang mengunjungi
kawasan ini. Peranan para pedagang sebagai pengamat Bahasa melalui pembacaan
naskah-naskah dilanjutkan oleh para penginjil yang oleh VOC dikirim ke Nusantara
dalam jumlah besar selama 2 abad pertama.
2.
Telaah Naskah Nusantara Oleh Penginjil
Seorang penginjil
yang terkenal dan menaruh minat terhadap naskah melayu adalah Dr. Melchoir
Leijdecker (1645-1701), pada tahun 1691 atas perintah Dewan Gereja Belanda
Leijdecker menyusun terjemahan Beibel dalam Bahasa Melayu tinggi. Akan tetapi
sampai dia meninggal terjemahan tersebut belum selesai, kemudian dilanjutkan
oleh seorang penginjil lain bernama Petrus Van Den Vorm (1664-1731) yang datang
ke Indonesia pada tahun 1688 dan setelah dilakukan penyempurnaan dari revisi yang
cukup pada tahun 1835 jilid pertama terjemahan Beibel dalam Bahasa Melayu itu
terbit. Penginjil lain yang dikenal akrab dengan bahasa dan kesastraan Melayu
adalah François Valentijn
(1666-1727), G.H Werndly dengan karangannya berjudul Maleische Spraakkunst
yang terbit tahun 1736, pada lampirannya
yang diberi judul Maleische Boekzaal dia menyusun daftar naskah-naskah
Melayu yang dikenalinya sebanyak 69 naskah.
Ketika
kedudukan VOC lemah dorongan mempelajari Bahasa dan naskah-naskah berkurang, usaha
penyebaran alkitab lalu diteruskan oleh Zending dan Bijbelgenootschap, akan
tetapi karena banyak kesulitan, baru pada tahun 1814 lembaga ini baru mengirim
penginjil protestan bernama
G. Brucker ke wilayah Nusantara dan ditempatkan di Semarang. Untuk menjalankan tugasnya menyebarkan Alkitab, ia bergaul dan belajar Bahasa Jawa serta menerjemahkan naskah jawa. Ia juga menerjemahkan Alkitab ke dalam huruf jawa yg diterbitkan pada tahun 1831. Selain Alkitab ia juga menulis buku tatabahasa jawa yang didalamnya memuat teks terjemahan cerita jawa dan beberapa surat bahasa jawa sebagai bahan bacaan.
G. Brucker ke wilayah Nusantara dan ditempatkan di Semarang. Untuk menjalankan tugasnya menyebarkan Alkitab, ia bergaul dan belajar Bahasa Jawa serta menerjemahkan naskah jawa. Ia juga menerjemahkan Alkitab ke dalam huruf jawa yg diterbitkan pada tahun 1831. Selain Alkitab ia juga menulis buku tatabahasa jawa yang didalamnya memuat teks terjemahan cerita jawa dan beberapa surat bahasa jawa sebagai bahan bacaan.
Nederlandsche
Bijbelgenootschap (NBG) merupakan lembaga yang berperan penting dalam
syiar Agama Kristen. NBG
tidak mau mempekerjakan penerjemah amatiran. Lembaga
tersebut menetapkan syarat yang ketat untuk perekrutan penerjemah Alkitab yang diberi
kedudukan sebagai taalafgevaardigde (utusan bahasa) Selain ahli bahasa,
orang yang direkrut harus mendalami secara ilmiah adat-istiadat, agama, dan ajaran
kesusilaan yang dijunjung tinggi oleh kaum bumiputra di daerah yang
bersangkutan. Seseorang yang pertama memenuhi persyaratan tersebut adalah J.F.C.Gericke
(Johann Friedrich Carl Gericke),
yang datang pada tahun 1824. Sebelum ditugasi menerjemahkan Alkitab di Jawa, ia
harus mempersiapkan diri dengan belajar bahasa Latin, Yunani, Ibrani, Arab,
Melayu, Jawa, dan sejarah Timur di negeri Belanda. Tidak jauh berbeda dengan
NBG, KITLV didirikan untuk mengumpulkan wetenschappelijke kennis van
taal-land en volkenkunde van Java kon bijdragen tot een goed
geinformeerd,deskundig koloniaal bestuur van een zo verschillend, oosters volk
als Javanen, om Aldus de Nederlandse heerscappij zo lang mogelijk te handhaven
(pengetahuan ilmiah tentang bahasa, geografi, dan antropologi Jawa yang dapat
memberikan sumbangan bagi tata pemerintah kolonial yang ahli dan cakap dari
bermacam-macam suku bangsa Timur seperti Jawa agar dengan cara demikian
kekuasaan Belanda dapat dipertahankan dalam waktu yang lama) (Sudibyo, 2007:112).
- Kegiatan Filologi Terhadap Teks Nusantara
Kehadiran tenaga
penginjil yang dikirim NBG ke Nusantara dengan bekal ilmu pengetahuan linguistik
mendorong tumbuhnya kegiatan untuk meneliti naskah-naskah Nusantara. Jika pada
awalnya hanya bertujuan untuk mengenal bahasanya untuk penyebaran Alkitab namun
kemudian ada yang kemudian berminat mengkaji untuk memahami kandungan isi
bahkan menyunting agar naskah tersebut diketahui golongan yang lebih luas (Siti
Baroroh, 1994: 49).
Minat terhadap
naskah nusantara timbul pada para tenaga Belanda yang memberi pelajaran bahasa-bahasa Nusantara kepada
calon pegawai sipil sebelum mereka dikirim ke Indonesia. mereka perlu dibekali pengetahuan dalam bidang
bahasa, ilmu bumi dan ilmu bangsa-bangsa. Disamping
tenaga peneliti dari Belanda ada juga tenaga peneliti dan ahli filologi dari Inggris
John Leyden, Thomas Stamford Raffles, dll. Kajian
ahli filologi terhadap naskah nusantara bertujuan untuk menyunting, membahas
serta menganalisis isinya atau keduanya. Pada taraf awal kajian terhadap naskah
itu bertujuan untuk penyuntingan. Berhubung dengan tenaga yang masih terbatas,
maka kegiatan itu diarahkan untuk naskah jawa dan melayu. Hasil suntingan pada
umumnya berupa penyajian teks dalam huruf jawa, pegon atau huruf jawi dengan
disertai pendahuluan singkat, tanpa analisis isinya. Seperti suntingan Ramayana
Kakawin oleh H. Kern (1900), Syair Bidadari oleh Van Hoevel (1843), dll.
Suntingan taraf awal ini umumnya menggunakan metode intuitif atau diplomatik.
Selanjutnya, naskah itu
disunting dalam bentuk tranliterasi (huruf latin), misalnya Wrettasantjaja (1849),
Ardjoena-Wiwaha dan Bomakawya. Suntingan naskah dengan disertai terjemahan
dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda merupakan perkembangan Filologi
selanjutnya, misalnya Sang Hyang Kamahayanikan, Oud-Javasnsche tekst met
inleiding, vertaling en aan teekeningen oleh J.Kats (1910). Naskah
suntingan pada abad ke-20 umunya disertai terjemahan Bahasa Inggris atau
Belanda, serta banyak pula dilakukan suntingan naskah dengan metode kritik
teks. Pada abad ini muncul terbitan ulangan dari naskah yang pernah disunting
dengan maksud untuk menyempurnakan. Pada abad ini juga banyak diterbitkan
naskah keagamaan baik naskah melayu maupun naskah Jawa. Naskah keagamaan itu
disebut kesastraan kitab.
Disamping menerbitan
suntingan naskah, banyak dilakukan telaah naskah untuk tujuan pembahasan isinya,
yang ditinjau dari berbagai disiplin. Karya tulis hasil kajian tersebut antara
lain berjudul Syamsudin Van Pasai ditulis oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijze (1945) berdasarkan
tulisan Syamsudin, ulama tasawuf dari Aceh. Pada periode mutakhir mulai dirintis
telaah naskah Nusantara dengan analisis berdasakan ilmu sastra (barat), misalnya
analisis struktur dan amanat terhadap naskah Hikayat Sri Rama oleh Achadiati
Ikram (1980). Pada dekade berikutnya dilakukan penelitian dengan menggunakan
analisis intertekstual, misal analisis intertekstual terhadap naskah Hikayat Merong Mahawangsa oleh
Hendrik M. Selain itu, juga dilakukan penelitian dengan analisis resepsi,
misalnya analisis resepsi terhadap naskah Kakawin Arjunawiwaha oleh I. Kuntara
Wiryamartana.
Tersedianya naskah
serta suntingan naskah mendorong minat untuk menyusun kamus Bahasa nusantara,
bahkan sejak abad ke 19 telah terbit beberapa kamus bahasa jawa oleh tenaga
penginjil yang dikirim NBG ke Indonesia. Kegiatan filologi terhadap naskah
Nusantara telah mendorong berbagai kegiatan ilmiah yang hasilnya telah
dimanfaatkan oleh berbagai disiplin terutama disiplin ilmu humaniora dan
ilmu-ilmu sosial. Semua kegiatan tersebut telah memenuhi tujuan filologi yaitu
melalui telaah naskah-naskah dapat membuka kebudayaan bangsa dan telah
mengangkat nilai-nilai luhur yang tersimpan di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Tt.
“History”. Dalam http://asiaticsocietycal.com/history/index.htm,
diunduh Kamis, 10 Maret 2016 Pukul 15.10
Baried,
Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta : BPPF
Seksi Filologi Fakultas Sastra UGM.
Sudibyo. 2007. “Kembali ke Filologi:
Filologi Indonesia dan Tradisi Orientalisme”. Dalam Jurnal Humaniora Volume 19 No. 2 Juni 2007 Halaman 107-118 http://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/
download/896/743, diunduh Kamis, 10 Maret 2016 Pukul 14.55.
download/896/743, diunduh Kamis, 10 Maret 2016 Pukul 14.55.
Suryani N.S, Elis. 2012. Filologi.
Bogor : Ghalia Indonesia.
Komentar
Posting Komentar